Struktur dan Bentuk Sang Keris

Ikrar Izzul Haq
4 min readApr 6, 2023

--

Sampul novel Sang Keris

Ada semacam legitimasi atas mutu yang ditawarkan pada novel ini setelah keluar sebagai pemenang kedua Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2019. Beberapa tawaran struktural yang membangun juga tak kalah menarik untuk dibahas.

Bentuk dari novel ini tak seperti kebanyakan, terbilang unik. Atau kita bisa menggunakan label yang sedikit lebih ekstrem seperti yang dikatakan Dewan Juri Sayembara Novel DKJ 2019; novel ini rumit. Label yang disematkan tersebut tidak lantas berarti Sang Keris tak dapat “tersentuh” sama sekali. Beberapa hal bisa ditelisik lebih lanjut, khususnya pada bagian struktur atau pembentuk dari novel. Mulai dari perkara tokoh, kebahasaan, dan susunan cerita.

Tokoh utama novel ini adalah sesuatu yang biasa kita lihat sebagai benda mati, sebilah keris. Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, “benda mati” tersebut dikisahkan sedemikian rupa seolah-olah betulan hidup oleh penulis. Penulis juga tak bisa menyangsikan kepercayaan masyarakat Jawa dan hal-hal magis yang melekat pada sebilah keris. Hidupnya tokoh keris di sini tak lepas dari pengaruh kepercayaan tersebut.

Latar kebendaan tokoh novel Sang Keris mungkin juga akan mengingatkan pada tokoh benda dalam novel Semua Ikan Di Langit. Secara bentuk fisik kedua tokoh tersebut tak bisa sedikitpun dikatakan mirip. begitu pula dengan penokohan keduanya. Sangat kontras antara sang keris dengan si bus. Sang keris digambarkan sebagai tokoh yang berwibawa, anggun, angkuh, dan sakti mandraguna. Sedangkan si bus, berwatak ceria, lugu, sentimental, dan suka menolong.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan, ada kesamaan antara dua tokoh benda mati ini — ini pula yang membuat keduanya menjadi lebih hidup. Keris dalam novel Sang Keris dengan bus dalam novel Semua Ikan Di Langit sama-sama melakukan “perjalanan”. Sang keris melakukan perjalanan waktu. Mengisahkan bagaimana ia dengan kesaktiannya menaklukkan setiap pihak yang berseberangan dengannya pada masa yang berbeda, dan tuan yang berbeda pula. Perjalanan si bus sedikit tak beraturan. maksudnya tak konsisten pada dunia yang riil. kondi penceritaan tersebut juga dipengaruhi oleh tipikal genre Semua Ikan Di Langit yang fantastik. Dikisahkan bahwa si bus melakukan perjalanan menuju angkasa luar dan juga beberapakali melakukan perjalanan di bumi, melihat-lihat kondisi dan apa yang sedang terjadi di sana.

Keterampilan kebahasaan menjadi pemikat, sekaligus pengecoh untuk para pembaca novel Sang Keris. Dikatakan demikan karena penulis menggunakan ragam bahasa yang sopan dan semi-puitik. Dibuka dengan narasi yang menawan, membuat hanyut dalam cerita. Tak hanya memikat sejak awal, narasi penceritaan terbilang konsisten hingga akhir.

Pemilihan ragam bahasa menjadi faktor krusial atas setiap karya sastra. Dan Panji Sukma sebagai penulis berhasil dalam penulisan novel ini. Tak ada kejanggalan atau hal yang bertentangan perkara bahasa dan penokohannya. Bahasa yang menawan tersebut dapat dikatakan sebagai representasi dari tokoh utama. Ragam bahasa yang digunakan penulis juga mendukung wibawa sang keris dalam setiap potongan cerita.

Keris yang berasal dari tanah dan tradisi jawa membuat novel ini seringkali menggunakan istilah- istilah yang lokal sekaligus asing untuk kalangan awam. Bahkan orang jawa asli pun tak mendapat jaminan akan langsung paham ketika menjumpai istilah-istilah tersebut. Namun, penulis cukup pengertian sejak awal kepada para calon pembacanya. Ia memberikan catatan kaki atas istilah-istilah khusus tersebut. Tentu kehadiran catatan tersebut, sangat membantu pembaca dalam proses pembacaan. Baik untuk memahami isi cerita, atau untuk efisisensi waktu karena tidak perlu mencari arti dari istilah tersebut di internet ataupun kamus.

Membaca Sang Keris tidak seperti membaca novel. Kejanggalan dan tanda tanya mulai bermunculan ketika mulai beralih pada bab-bab selanjutnya. Meski ditulis dengan gaya bahasa yang sama, tetap saja ada sesuatu yang terasa buyar. Walaupun tokoh utama yang dihadirkan — Kanjeng Kyai Karonsih — mendominasi hampir pada setiap cerita, karya ini lebih dekat dengan struktur cerita pendek. Sebagian pembaca mungkin akan bertanya-tanya sepanjang pembacaan: apa benar ini sebuah novel? Sebanyak 16 bab cerita, sebagian besar dapat berdiri pada dunianya sendiri. Seperti kepingan-kepingan. Hal yang mungkin menjadi pertimbangan untuk karya ini dilabeli sebagai novel adalah tokoh yang satu. Namun tetap saja, ada cerita yang sama sekali tak menyebut keris, dan membangun struktur ceritanya sendiri. Seolah beberapa cerita dalam 16 bab itu tak semuanya utuh dalam satu struktur rumah. Melainkan terdapat beberapa gazebo-gazebo kecil di sekitarnya.

Tak ditemukan benang merah lagi selain tokoh keris yang satu. Sebuah kesalahan untuk mengharapkan keterjalinan antarkisah pada setiap bab dalam novel ini. Apalagi, terdapat beberapa “cerpen” yang menyelip dari belasan bab. Yang lebih menjengkelkan adalah cerita pada beberapa bagian yang sama sekali tak menggunakan satu-satunya benang merang dalam kumpulan kisah ini. Seperti pada bagian Sang Pencerah, Larung Manah, dan Brawijaya Pamungkas.

Namun dari struktur yang tak beraturan ini, pembaca tidak selamanya dibuat pusing dan sibuk menghubungkan apa yang memang tak berhubungan. Menjelang halaman akhir, pembaca disuguhi rangkaian cerita yang berhubungan — yang juga memungkinkan untuk dihubungkan dengan bab-bab lainnya — yaitu bab Perempuan Perancis, Pantai Selatan, dan Surya Sengkala. Ketiga bab tersebut merupakan rangkaian kisah yang menjadi latar belakang bab Pambuka. Disebutkan pada keempat bab, baik secra eksplisit maupun implisit terkait dengan kedatangan seorang yang ditunggu-tunggu, Sang Ratu Adil.

Hal yang dapat ditelisik lebih dalam dari “kumpulan cerita” ini adalah konteks di luar cerita yang otonom. Pembaca seolah-olah diseret pada masa lampau dan diperdengarkan pada kisah yang mengandung unsur historis. Utamanya kisah yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan Hindu- Buddha hingga Islam. Ada pula yang membawa pembaca pada kisah kesejarahan nasional Indonesia. Sangat luas jangkauan historis yang termuat dalam novel ini. Hal tersebut menjadi sebab lini masa — jika diurutkan secara linier — terbentang luas.

Memerlukan cakrawala yang luas pula untuk membaca karya ini. Terkait dengan pengetahuan terhadap keris sendiri maupun penelusuran atas sejarah di Indonesia. Mulai dari sejarah masa kerajaan hingga sejarah nasional. Kajian intertekstual akan sangat membantu untuk memahami secara utuh kisah-kisah dalan Sang Keris.

--

--

No responses yet